Pages

SOSIOLOGI SASTRA


ANALISIS CERPEN "CICING KASANGA" BERDASARKAN SOSIOLOGI SASTRA
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
      Sastra (Sanskerta: shastra) merupakan kata serapan dari bahasa Sanskerta ‘Sastra’, yang berarti “teks yang mengandung instruksi” atau “pedoman”, dari kata dasar ‘Sas’ yang berarti “instruksi” atau “ajaran” dan ‘Tra’ yang berarti “alat” atau “sarana”. Dalam bahasa Indonesia kata ini biasa digunakan untuk merujuk kepada “kesusastraan” atau sebuah jenis tulisan yang memiliki arti atau keindahan tertentu.
Yang agak biasa adalah pemakaian istilah sastra dan sastrawi. Segmentasi sastra lebih mengacu sesuai defenisinya sebagai sekedar teks. Sedang sastrawi lebih mengarah pada sastra yang kental nuansa puitis atau abstraknya. Istilah sastrawan adalah salah satu contohnya, diartikan sebagai orang yang menggeluti sastrawi, bukan sastra.
       Selain itu dalam arti kesusastraan, sastra bisa dibagi menjadi sastra tertulis atau sastra lisan (sastra oral). Di sini sastra tidak banyak berhubungan dengan tulisan, tetapi dengan bahasa yang dijadikan wahana untuk mengekspresikan pengalaman atau pemikiran tertentu.
       Sastra dibagi menjadi 2 yaitu Prosa dan Puisi, Prosa adalah karya sastra yang tidak terikat sedangkan Puisi adalah karya sastra yang terikat dengan kaidah dan aturan tertentu. Contoh karya Sastra Puisi yaitu Puisi, Pantun,  dan Syair sedangkan contoh karya sastra Prosa yaitu Novel, Cerita/Cerpen, dan Drama.
1.2 Masalah
1.Bagaimana struktur cerpen “CICING KASANGA”?
2.Aspek sosial apa saja yang terkandung dalam cerpen “CICING KASANGA”?
1.3 Tujuan
a)Tujuan khusus
•Agar mengetahui struktur cerpen “CICING KASANGA”.
•Agar mengetahui aspek sosial yang terkandung dalam cerpen “CICING KASANGA”.
•Agar bisa mengembangkan karya sastra tradisional Bali.
b)Tujuan umum
•Agar bisa menambah wawasan tentang cerpan.
•Agar pembaca bisa lebih mengerti dan memahami isi dari cerpen ini.

BAB II
TINJAUAN STRUKTUR CERPEN CICICNG KASANGA
2.1 Sinopsis
CICING KASANGA
    Bapak aku pernah menceritakan jangan pernah memukuli/mengganggu anjing saat petang, karena bisa membahayakan keselamatan. Aku kira cerita itu sudah mati, dan ternyata memang masih ada. Saat itu aku sakit tidak bisa bergerak. Sakit parah, semenjak menendang anjing kurus di jalanan depan rumah aku dan aku menemukan derita.
    Saat itu aku sangat marah, karena kedua anakku tidak bisa tidur. Disebabkan oleh anjing yang menggong-gong di jalan depan rumahku. Memasuki sasih kasanga, bulan januari 2011. Anak aku yang pertama Putu Satria berumur 18 bulan. Dan anak yang kedua bernama Kadek Amelia berumur 6 bulan menangis tiada henti-hentinya. Disaat itu aku sangat marah, aku keluar membawa senjata. Di kala itu pikiranku sudah membunuh anjing itu.
2.2 Insiden
Insiden adalah peristiwa (khususnya yg kurang penting dl hubungannya dng peristiwa lainnya yg lebih besar); kejadian: janganlah -- yg kecil itu sampai menimbulkan kekalutan dl masyarakat source: kbbi3
    insiden pertama dalam cerpen “ANJING KASANGA” diawali dengan tokoh Aku yang anakknya tiada henti-hentinya menangis di malam hari, seperti tampak dalam kutipan berikut ini :   
“Dugasé ento saja tiang mamedih. Baan pianak tiangé kadadua tusing ngidayang tis sirep. Gugul cicing kraung-kraung di margané. Nyaluk sasih kasanga, bulan Januari 2011. Masan jaruhé mamurti, kala cicing ngantén. Baan munyin cicingé ngulun-ngulun di rurungé, pianak tiangé ané kelihan Putu Satria, mayusa 18 bulan uyang paling di pedemané. Pianak tiangé ané cerikan Kadék Amélia, mayusa 6 bulan ngeling gerong-gerong tusing ngidayang nungkulang. Sinah ba baan cicing kasanga di rurungé ané magarang masaki. Kaliwat pedih, tiang pesu ka rurungé sambilang ngaba penampad. Kenehé lakar ngamatiang cicingé. Mabekal penampad anggon sanjata, nyén nawang ada manusa sakti slapat-slapat di rurungé, apang aluh baan ngabas baongné”.
2.3 Alur/plot   
Alur atau plot dapat didefinisikan sebagai cara pengarang menjalin kejadian-kejadian secara beruntun dengan memperhatikan hukum sebab akibat sehingga merupakan kesatuan yang padu, bulat, dan utuh (Suharianto).
Alur menurut Stanton (dalam Nurgiyantoro, 1995 : 113), adalah cerita yang berisi urutan kejadian, namun tiap kejadian itu hanya dihubungkan secara sebab akibat, peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkan terjadinya adalah segala keterangan, petunjuk, pengacuan yang berkaitan dengan waktu, ruang, dan suasana terjadinya peristiwa dalam suatu karya sastra.

Dalam analisis carpen “CICING KASANGA” plot yang digunakan yaitu Plot Sorot-balik, Flash-back. Urutan kejadian yang dikisahkan dalam karya fiksi tidak bersifat kronologis, cerita tidak dimulai dari tahap awal, melainkan mungkin dari tahap tengah atau bahkan tahap akhir, baru kemudian tahap awal cerita dikisahkan. Karya yang berplot jenis ini langsung menyuguhkan adegan-adegan konflik, bahkan barangkali konflik yang telah meruncing. Padahal pembaca belum lagi dibawa masuk ke situasi dan permasalahan yang menyebabkan terjadinya konflik dan pertentangan itu. Hal tersebut tergambar pada kutipan berikut:
    “Reraman tiangé taén nuturin, da pesan ngugul cicing kala peteng, bisa ngranayang tusing selamat. Béh, kadén nak tutur suba luntur, jeg sajan meranén. Tiang nyelepeteg tusing ngidayang makrisikan. Gelem nguwon. Mamules lonto. Sasukat nanjung cicing gudig di margané, tiang nemu sengkala”.
Terjemahan:
    “Bapak aku pernah menceritakan jangan pernah memukuli/mengganggu anjing saat petang, karena bisa membahayakan keselamatan. Aku kira cerita itu sudah mati, dan ternyata memang masih ada. Saat itu aku sakit tidak bisa bergerak. Sakit parah, semenjak menendang anjing kurus di jalanan depan rumah aku dan aku menemukan derita”.
2.4 Tokoh (penokohan)
Cerita sastra merupakan cerita yang mengisahkan kehidupan manusia dengan segala serbaneka kehidupannya. Dengan  pemahaman tersebut tentulah diwajibkan adanya tokoh sebagai perwujudan dari manusia dan kehidupannya yang akan diceritakan. Tokoh dalam cerita ini akan melakukan tugasnya menjadi “sumber cerita”. Tokoh merupakan benda hidup (manusia) yang memiliki fisik dan memiliki watak. Penokohan
Dalam analisis cerpen “CICING KASANGA” tidak semua tokoh dibicarakan secara khusus, tetapi terbatas pada tokoh utama dan tokoh sampingan.
Dalam cerpen “CICING KASANGA” tokoh AKU dan ayahnya menempati posisi paling posisi yang domain dalam keseluruhan ceritanya.
Analisis penokohan dimulai dari tokoh utama “AKU”
AKU adalah seorang laki-laki yang mempunyai sifat cepat marah dan sayang kepada anak-anaknya. Hal itu digambarkan pada kutipan berikut ini:
“Dugasé ento saja tiang mamedih. Baan pianak tiangé kadadua tusing ngidayang tis sirep. Gugul cicing kraung-kraung di margané. Nyaluk sasih kasanga, bulan Januari 2011. Masan jaruhé mamurti, kala cicing ngantén. Baan munyin cicingé ngulun-ngulun di rurungé, pianak tiangé ané kelihan Putu Satria, mayusa 18 bulan uyang paling di pedemané. Pianak tiangé ané cerikan Kadék Amélia, mayusa 6 bulan ngeling gerong-gerong tusing ngidayang nungkulang. Sinah ba baan cicing kasanga di rurungé ané magarang masaki. Kaliwat pedih, tiang pesu ka rurungé sambilang ngaba penampad. Kenehé lakar ngamatiang cicingé. Mabekal penampad anggon sanjata, nyén nawang ada manusa sakti slapat-slapat di rurungé, apang aluh baan ngabas baongné”.

Terjemahan:
    “Saat itu aku sangat marah, karena kedua anakku tidak bisa tidur. Disebabkan oleh anjing yang menggong-gong di jalan depan rumahku. Memasuki sasih kasanga, bulan januari 2011. Anak aku yang pertama Putu Satria berumur 18 bulan. Dan anak yang kedua bernama Kadek Amelia berumur 6 bulan menangis tiada henti-hentinya. Disaat itu aku sangat marah, aku keluar membawa senjata. Di kala itu pikiranku sudah membunuh anjing itu.

2.5 Setting/latar
Menurut Nurgiyantoro (2004:227—233) latar dapat dibedakan ke dalam tiga unsur pokok, antara lain sebagai berikut.
a. Latar Tempat
Latar tempat mengacu pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Unsur tempat yang dipergunakan mungkin berupa tempat-tempat dengan nama tertentu serta inisial tertentu. Latar tempat di ungkapkan dalam cerpen “CICING KASANGA” ini oleh pengarang. Latar tempat yang digunakan adalah rumah dari tikoh AKU itu tergambar pada kutipan berikut:
    “Béh, sajan pakardin Widhi, jangkrik, katak, dongkang lan sarwa gumatap gumitipé masé ngelah kiap. Prajani onyang ngengkis. Sing ja manusa dogén ané pules petengé. Gumatap gumitpé ngengkis pules serasa suwung mangmung asané umahé,” kéto abet tiangé di ati.
Terjemahan:
    “aduhh,,emang benar anugrah tuhan, jangkrik, katak, dan isi mahluk-mahluk kecil lainnya punya rasa ngantuk. Mendadak semuanya diam. Tidak je manusia saja yang tidur di malam hari. Binatang-binatang kecil lainnya tidur terasa sepi rumah ini, kataku dalam hati”.
b. Latar Waktu
Latar waktu berhubungan dengan masalah ” kapan ” terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Masalah ”kapan” tersebut biasanya dihubungkan dengan waktu
Dalam cerpen “CICING KASANGA” latar tempat yang digunakan adalah rumah dari AKU itu sendiri. Unsur waktu yang digunakan pengarang, seprti yang dlukiskan pada kutipan dibawah ini:
“Dugasé ento saja tiang mamedih. Baan pianak tiangé kadadua tusing ngidayang tis sirep. Gugul cicing kraung-kraung di margané. Nyaluk sasih kasanga, bulan Januari 2011. Masan jaruhé mamurti, kala cicing ngantén. Baan munyin cicingé ngulun-ngulun di rurungé, pianak tiangé ané kelihan Putu Satria, mayusa 18 bulan uyang paling di pedemané. Pianak tiangé ané cerikan Kadék Amélia, mayusa 6 bulan ngeling gerong-gerong tusing ngidayang nungkulang. Sinah ba baan cicing kasanga di rurungé ané magarang masaki. Kaliwat pedih, tiang pesu ka rurungé sambilang ngaba penampad. Kenehé lakar ngamatiang cicingé. Mabekal penampad anggon sanjata, nyén nawang ada manusa sakti slapat-slapat di rurungé, apang aluh baan ngabas baongné”
Terjemahan:
    “Saat itu aku sangat marah, karena kedua anakku tidak bisa tidur. Disebabkan oleh anjing yang menggong-gong di jalan depan rumahku. Memasuki sasih kasanga, bulan januari 2011. Anak aku yang pertama Putu Satria berumur 18 bulan. Dan anak yang kedua bernama Kadek Amelia berumur 6 bulan menangis tiada henti-hentinya. Disaat itu aku sangat marah, aku keluar membawa senjata. Di kala itu pikiranku sudah membunuh anjing itu”.
2.6 Tema
    Tema merupakan dasar cerita yaitu pokok permasalahan yang mendominasi suatu karya sastra (suharianto). Tema merupakan titik tolak pengarang dalam menyusun karya sastranya. Tema ini merupakan hal yang ingin disampaikan dan dipecahkan oleh pengarangnya melalui ceritanya. Tema menjadi dasar pengembangan seluruh cerita, maka tema pun bersifat menjiwai seluruh bagian cerita itu dari awal sampai akhir.
Tema yang digunakan dalam cerpen cicing kasanga adalah karmaphala. Gambaran karmaphala dalam cerpen ini dapat digambarkan melalui kutipan berikut:
    “Bangun semengan tiang tusing cara biasané. Mungkah mangkih tiang mangunang awak, tusing ngidayang. Dija kadén bayun tiangé, nadak sara macepol. Kéto masé batis tengawan, ané anggon tiang nanjung cicing sakit sing kodag-kodag. Tiang nyelepeteg tusing ngidayang makitipan. Da ja bangun, nintingang batis gén tusing mabayu. Tiang éran, nguda nendang cicing berig tiang tusing ngidaang ngudiang. Dugas kejurda Perisai Diri-né kudang jlema kadén bakat tendang, tusing ja kénkén. Péh cicing amah temah bakat tanjung”.
Terjemahan:
    “bangun pagi aku tidak seperti biasanya. Susah payah aku membangunkan diri, tidak bisa. Dimana tenaga aku, mendadak seperti terjatuh. Begitu juga kaki kananku, yang aku pakai menendang anjing sakit tidak tertahankan. Saya terbujur kaku tidak bisa bergerak. Jangankan bangun, mengangkat kaki aja tidak bisa. Aku heran, kenapa menendangi anjing kurus sampai tidak bisa ngapain-ngapain. Waktu kujurda saat pertandingan perisai diri berapa orang yang sudah saya tendang, tidak kenapa-kenapa”.
2.7 Amanat
    Jika permasalahan yang diajukan dalam cerita diberi jalan keluarnya oleh pengarang, maka jalan keluar itulah yang disebut amanat. Amanat yang terdapat dalam karya sastra tertuang secara implisit. Secara implisit yaitu jika jalan keluar atau ajaran moral itu disiratkan dalam tingkah laku tokoh menjelang cerita berakhir. Sudjiman (1986:35)
Dalam analisis cerpen “CICING KASANGA” pesan yang bisa di dapat dri cerita ini adalah: janganlah suka mengganggu anjing pada saat malam hari memasuki bulan sasih kasanga dan jangan pula memperlakukan binatang sesuka hatinya dan jangan pula meremehkan nasehat dari orang tua kita sendiri karena orang tua pasti menginginkan yang terbaik bagi anaknya. Hal ini tergambar pada kutipan berikut ini:
    “Dugas tiang mamedih pesu, bapan tiangé maan némbahang. Tusing dadi koné ngugul nyama di petengé. Kenapa sing dadi, patakon tiangé. I bapa nyautin anak mula kéto koné”.
Terjemahan:
    “saat aku keluar dengan marah-marah, bapakku pernah menasehatiku. Tidak boleh katanya mengganggu saudara kita di malam hari. Kenapa nggak boleh?. Bapakku lantas menjawab,emang begitu adanya.
BAB III
ANALISIS SOSIOLOGI CERPEN CICING KASANGA
    Aspek-aspek yang akan diuraikan dalam analisis sosiologi sastra ini merupakan suatu tinjauan yang sangat penting dalam menetapakan kerangka penilaian pemikiran sosiologi sastra.
    Bebagai karya sastra apapun bentukya tidak dapat dipisahkan dari lingkungan sosial budaya dimana karya sastra diciptakan. Kelahiran sastra sebagai suatu bentuk seni bersumber dari kehidupan yang bertata nilai. Karenanya sastra sebagai produk kehidupan mengandung nilai-nilai sosial, religi, filsafat dan sebagainya (Bagus, 1989:8).
    Adapun aspek-aspek sosial yang dapat diuraikan dari analisis dalam “CICING KASANGA ” adalah sebagai berikut:
3.1 Aspek Agama
Agama menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya dari kutipan tampak adanya aspek agama dalam cerpen cicing kasanga, terlihat dari kutipan berikut ini:
    “I raga tuah pakardin Widhi ané pinih utama, sinah tusing kalahang léak. Aruh, jeg negatif thinking duén papineh tua-tuané”.
Terjemahan:
    “kita adalah mahluk ciptaan tuhan yang paling utama/sempurna, tidak bisa terkalahkan oleh setan. Aaahh,negatif thinking aja omongan orang tua”.
3.2 Aspek Mistik
    Menurut asal katanya, kata mistik berasal dari bahasa Yunani mystikos yang artinya rahasia (geheim), serba rahasia (geheimzinnig), tersembunyi (verborgen), gelap (donker) atau terselubung dalam kekelaman (in het duister gehuld) juga hal-hal mistik yang muncul dalam cerpen ini tampak pada kutipan dibawah ini:

    “Neked di rurungé tiang nepukin cicing berig gudig, mabulu kiskisan. Sledét tiang, cicingé ané lénan nengil. Onyang nolih cicing berag gudig ento. Cicingé ané lénan sarasa angob nepukin cicingé ento nganti engsap ngongkong. Paekin tiang cicing gudigé ento, laut mesuang ancang-ancang pacang nendang nganggon tendangan T. Tendangan ané ajahina tekén bapan tiangé dugas malatih Perisai Diri. Siteng tiang nendang, cicingé tusing makrisikan. Kadén tiang cicingé mati kena tendangan, laut tiang mulih”.
Terjemahan:
    “sesampainya dijalan aku melihat anjing kurus, kering,dan sakit-sakitan, berbulu sedikit. Aku lihat, anjing yang lainnya diam, semua melihat anjing kurus itu. Anjing yang lain merasa heran melihat anjing itu sampai lupa menggonggong. Aku dekati, lalu mengeluarkan jurus-jurus mau menendang memakai tendangan T. Tendangan yang diajarkan oleh bapakku waktu berlatih perisai diri. Kuat aku menendanginya, anjingnya tidak bergerak (diam). Aku kira anjingnya mati kena tendanganku, lalu aku pulang”.
    Dari kutipan tersebut tampak jelas, adanya hal-hal mistik. Dimana anjing-anjing lainnya merasa heran menemui anjing kurus dan kering itu. Berarti di dalam anjing itu terdapat hal yang lain yang bersifat gaib dan hanya bisa dilihat oleh sesama anjing.

BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Berdasarkan analisis dan uraian didepan dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1.Tema dalam cerpen ini pada dasarnya menceritakan suatu karma yang diakibatkan oleh perbuatan tokoh aku dalam cerpan ini.
2.Insiden yang dilukiskan dalam cerpen ini berjalan dengan wajar dam logis sehingga memberikan kesan bahwa insiden seperti ini memang ada dalam kehidupan masyarakat. Dalam perjalanan alur, insiden puncaknya adalahnnya tokoh aku yang diceritakan mengalami musibah.derita setelah menendangi anjing.
3.Bentuk alur yang digunakan adalah alur flash back, dimana awal mulai cerita ini menceritakan keadaanya setelah menedangi anjing, Setelah itu baru penulis menggunakan  Plot Lurus, Progresif karena peristiwa-peristiwa yang dikisahkan bersifat kronologis, peristiwa (-peristiwa) yang pertama diikuti oleh (atau: menyebabkan terjadinya) peristiwa-peristiwa yang kemudian. Atau secara runtut cerita dimulai dari tahap awal (penyituasian, pengenalan, pemunculan konflik), tahap tengah (konflik meningkat, klimaks), dan akhir (penyelesaian).
4.2 Saran
    Analisis cerpen cicing kasanga ini sangat jauh dari kesempurnaan. Diharapakan adanya penelitian lebih lanjut karena masih sanngat banyak sekali yang kurang dari penganalisisan ini.

Daftar Pustaka

Apliliana Mandasari, Kadek.2007. Novel Gita Ning Nusa Alit Analisis Sosiologi Sastra. Skripsi Jurusan Sastra Daerah Fakultas Sastra Universitas Udayana. Dinas Pendidikan Provinsi Bali Dati I Bali. 1990. Kamus  Bali-Indonesia.
Sukada, Made. 1987. “Beberapa Aspek tentang Sastra”. Denpasar. Kayu Mas dan Yayasan Ilmu Seni Lesiba.




0 komentar:

Posting Komentar

Copyright 2009 WIEEK BLOG. All rights reserved.
Bread Machine Reviews | watch free movies online by Blogger Templates